Sabtu, 27 Juni 2020

Asuransi Syariah

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Selain perbankan syariah, juga muncul pertanyaan, bagaimana dengan asuransi? Warga penduduk Islam ketika ini memerlukan asuransi untuk melindungi harta dan keluarga mereka dari akhir musibah. Sebuah keluarga hanya mengandalkan pemasukkan dari kepala keluarga, tentu akan sangat terusik keadaan keuangannya bila terjadi sebuah musibah yang menimpanya. Anak dan istri yang ditinggalkan belum tentu mampu memenuhi sendiri keperluan hidupnya; sementara lembaga amil zakat belum bisa secara optimal dan menyeluruh berperan sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi masalahnya. Selain risiko bencana alam kepada jiwa, asuransi juga diharapkan oleh sektor perjuangan. Usaha yang sudah maju dan menguntungkan mungkin mampu bangkrut dalam saat itu juga bila terjadi kebakaran melanda kawasan bisnisnya. Karena itu, keluarga yang telantar ditinggal oleh pemberi nafkah, dan perjuangan yang bangkrut alasannya kebakaran bantu-membantu tak perlu terjadi jika ada bantuan dari asuransi. Asuransi memang tidak mampu mencegah bencana alam, tetapi setidaknya mampu mengatasi balasan keuangan yang terjadi. Karena itu, bagaimana warga memakai asuransi jika ternyata produk asuransi ada yang mengandung bagian ketidakhalalan? Masalah dimaksud mampu dituntaskan lewat asuransi syariah atau asuransi konvensional yang membuka cabang khusus syariah. Sejak tahun 1994, industri perasuransian mulai dimasuki oleh asuransi syariah yang ditandai dengan berdirinya salah satu perusahaan asuransi syariah, ialah Asuransi Syariah Takaful. Meskipun pada awalnya pendirian perusahaan asuransi syariah ini menjadi kontradiksi usulan wacana kehalalan atas perjuangan tersebut, yakni di satu pihak ada golongan orang Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qadha dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Mereka berasumsi bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian ialah takdir Allah dan ialah hal yang tidak dapat ditolak. Namun, di pihak yang lain bagi sebagian umat Islam berasumsi bahwa setiap insan juga ditugaskan membuat penyusunan rencana untuk menghadapi abad depan . Permasalahan asuransi tidak berhenti hanya pada transaksinya, melainkan juga pada investasinya. Sebagian besar asuransi yang dibeli oleh warga masyarakat justru asuransi yang mengandung investasi (asuransi dwiguna). Selama ini, asuransi konvensional menginvetasikan dana yang didapatnya tanpa mempertimbangkan lagi aspek halal dan haram. Hal itu, mengakibatkan duit hasil investasi yang diterima oleh nasabah juga menjadi tidak terjaga kehalalannya. Hal ini juga yang menjadi salah satu perbedaan lagi dari asuransi syariah. Investasi pada asuransi syariah diawasi oleh dewan pengawas syariah yang memastikan bahwa semua mekanisme asuransi dan alokasi investasinya tidak bertentangan dengan aturan syariah. RUMUSAN MASALAH Dengan melihat latar belakang tersebut penulis akan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan asuransi syariah, diantaranya : Apa yang di maksud dengan asuransi? Bagaimana sejarah perkembangan dan dasar aturan asuransi? Bagaimana pendapat ulama mengenai asuransi? Apa yang mem bedakan asuransi syariah dengan konvensional? Apa saja desain dasar / filosofi dari asuransi? Apakah berasuransi dapat dikatakan menolak takdir? TUJUAN PENULISAN Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan asuransi. Untuk mengetahui kemajuan dan dasar hukum asuransi. Untuk mengetahui usulan ulama perihal asuransi. Untuk mengetahui perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Untuk mengetahui filosofi dari asuransi. Untuk mengenali apakah dengan berasuransi itu mempunyai arti telah menolak takdir atau tidak. BAB II PEMBAHASAN P ENGERTIAN ASURANSI Istilah akuntansi dalam perkembangannya di indonesia berasal dari bahasa belanda assurantie yang lalu menjadi “asuransi” dalam bahasa indonesia. Namun istilah asuransi itu sendiri bergotong-royong bukanlah ungkapan orisinil bahasa belanda, akan namun berasal dari bahasa Latin ialah assecurare yang bermakna “meyakinkan orang”. Dengan demikian pula istilah assuradeur yang memiliki arti “penanggung” dan geassureede yang mempunyai arti “tertanggung” keduanya berasal dari perbendaharaan bahasa belanda. Sedangkan dalam bahasa belanda perumpamaan “Pertanggungan” mampu di terjemahkan menjadi “insurance” dan “assursnce”. Kedua ungkapan ini bantu-membantu memiliki pengertian yang berlainan, insurance mengandung arti menanggung segala sesuatu yang mungkin terjadi. Sedangkan assurance berarti menanggung segala sesuatu yang pasti terjadi. Istilah assurance lebih lanjut di kaitkan dengan pertanggungan yang berkaitan dengan persoalan jiwa seseorang. Berikut ini beberapa pendapat perihal asuransi, adalah: Asuransi mampu pula di artikan sebagai sustu kesepakatan dimana, penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk mengubah kerugian, atau tidak diperolehnya laba yang di harapkan, yang dapat di derita karena insiden yang tidak di pahami dulu. Asuransi atau pertanggungan berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992, yaitu : P erjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri terhadap tertanggung, dengan menerima  premi asuransi, untuk menunjukkan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan laba yang dibutuhkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang muncul dari sebuah kejadian yang tidak niscaya, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Sedangkan asuransi syariah , setiap penerima sejak permulaan berniat saling membantu dan melindungi satu dengan lainnya dengan menyisakan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut Tabarru’ . Jadi tata cara ini tidak memakai pengalihan resiko dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih ialah pembagian resiko dimana akseptor saling menanggung. Kemudian akad yang digunakan dalam asuransi mesti selaras dengan hukum Islam, artinya kesepakatan yang dikerjakan harus terhindar dari unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risyiwah (suap), disamping itu investasi dana mesti pada objek yang halal thoyyibah bukan barang haram dan maksiat. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN DASAR HUKUM Se jarah Perkembangan Kajian asuransi dalam hukum Islam ialah hal yang gres, dan belum pernah ditemukan dalam literatur-literatur fiqh klasik. Pembahasan asuransi dalam kawasan kajian ilmu-ilmu keislaman baru timbul pada fase lahirnya ulama kontemporer. Tercatat dalam literatur sederetan nama yang menekum kajian asuransi diantaranya yaitu, Ibnu Abidin (1784-1836), Muhammad Nejatullah al-Siddiqi, Muhammmad Muslehuddin, Fazlur Rahman, Mannan, Yusuf al-Qardhawi, Mohd. Ma'shum Billah, merupakan gugusan nama ulama terkemuka yang hidup di periode kurun terbaru. Di sisi lain, kajian ihwal asuransi merupakan sebuah paket dari kajian ekonomi Islam yang umumnya selalu dikaji bantu-membantu dengan pembahasan perbankan dalam Islam. Makara, asuransi Islam atau asuransi syariah ialah hasil aliran ulama kontemporer. Secara prinsipiil kajian ekonomi Islam selalu mengedepankan asas keadilan, bersama-sama, menyingkir dari kezaliman, pengharaman riba (bunga), prinsip profit and loss sharing serta penghilangan komponen gharar. Maka dari sini, bisa ditarik garis pararel terhadap prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah institusi asuransi syariah. Sebab, asuransi syariah secara teoritis masih menginduk kepada ajian ekonomi Islam secara biasa . Di samping prinsip dasar di atas yang mesti dipenuhi oleh forum asuransi syariah, asuransi S yariah juga mesti berbagi suatu administrasi asuransi ecara mampu berdiri diatas kaki sendiri, terpadu, profesional serta tidak menyalahi hukum asar yang sudah digariskan dalam syariah Islam. Untuk tujuan me­jaga agar senantiasa sesuai dengan syari'at Islam maka pada setiap asu­ransi harus ada Dewan Pengawas Syariah (DPS). Di sinilah ulama kontemporer bermain dalam menggali dan menyusun sebuah kinerja dan administrasi asuransi syariah. Mengu­tip pernyataan Nejatullah al-Siddiqi, bahwa asuransi syariah mesti menenteng unsur gotong royong, seperti apa yang terjadi di awal sejarah asuransi yang mengakibatkan prinsip tolong-menolong sebagai komponen utama di dalamnya. Dari sini, asuransi syariah mengemban tugas agar melakukan pencucian komponen-bagian yang tidak sesuai dengan syariah terhadap praktik yang dikerjakan oleh asuransi konvensional. Nilai-nilai mirip materialistis, individualistis, kapitalis, mesti dihapuskan, sebagai gantinya dimasukkan semangat keadilan, kolaborasi, dan saling gotong royong. Lebih jauh, Muhammad Ma'shum Billah mengajukan suatu desain yang diberi nama dengan takaful . Sebuah desain asuransi syariah yang di dalamnya dijalankan kolaborasi dengan para penerima takaful (pemegang polis asuransi) atas prinsip al-Mudharabah . Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai al-mudharib yang menerima duit pembayaran dari akseptor takaful untuk diadministrasikan dan diinvestasikan sesuai dengan ketentuan syariah. Peser­ta takaful bertindak sebagai shahib al-mal yang hendak menerima faedah jasa tunjangan serta bagi hasil dari laba perusahaan asuransi syariah. Konsep takaful pada dasarnya ialah perjuangan kerja sama saling melindungi dan membantu antara anggota masyarakat dalam menghadapi malapetaka atau bencana. Secara kelembagaan, perkembangan asuransi syariah global ditandai dengan kedatangan perusahaan asuransi syariah di berbagai penggalan dunia, antara lain Sudanese Islamic Insurance (1979), Is­lamic Arab Insurance Co. (1979), Dar Al-Maal Al-Islami, Geneva (1981), Islamic Takafol Company (I.TC), S.A. Luxembourg (1985) Islamic takafol and Re-Takafol Company, Bahamas (1983), Syarikal Al-Takafol Al-Islamiah bahrain, E.C. (1983), Takaful Malaysia (1985). Sedangkan di Indonesia, asuransi syariah ialah sebuah harapan yang sudah dibangun semenjak usang, dan sudah menjadi suatu forum asuransi modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan berkompetisi dengan lembaga asuransi konvensional. Dalam asuran­si syariah terdapat dua jenis dukungan takaful. Pertama , takaful keluarga, adalah bentuk takaful yang menawarkan tunjangan fi­nansial dalam menghadapi malapetaka ajal dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun produk takaful keluarga mencakup; takaful bermaksud, takaful pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka, takaful kecelakaan siswa, takaful ke­celakaan diri, dan takaful khairat keluarga. Kedua , takaful biasa , adalah bentuk takaful yang menawarkan pinjaman financial da­lam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik akseptor takaful, mirip rumah, bangunan, dan sebagainya. Produk takaful lazim meliputi; takaful kebakaran, takaful kendaraan ber­motor, takaful pengangkutan bahari, dan takaful rekayasa. Adapun kemajuan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada paruh simpulan tahun 1994 yakni dengan berdirinya Asuran­si Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT Asuransi Takaful Keluarga lewat SK Menkeu No. Kep-385/KMK.017/ 1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI lewat Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia. Melalui banyak sekali pelatihan nasional dan sesudah menyelenggarakan studi banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Sya­rikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, adalah PT Asuransi Takaful Keluarga ( Life Insurance ) dan PT Asuransi Takaful Umum ( General Insurance ). PT Asuransi Takaful Keluarga diresmikan lebih permulaan pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar'ie Muhammad sebagaiMenteri Keuangan sa­at itu. Setelah keluarnya izin operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994. Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah lainnya lahir, seperti PT asuransi syariah "Mubarakah" (1997) dan bebe­rapa unit asuransi syariah dari asuransi konvensional mirip MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bu­mi Putra (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asu­ransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pra­tama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokio Marine Syariah (2004), dan Reindo Divisi Syariah (2004). Sampai dengan Mei 2008, telah hadir 41 perusahaan asuransi syariah di Indonesia, 3 perusahaan reasuransi syariah dan 6 perusahaan broker asuransi dan reasuransi syar iah. Pertumbuhan yang sama juga terdapat perusahaan asuransi yang dapat diperlihatkan sepanjang tahun 2004, adalah mencapai 44%. Peningkatan ini mengartikan bahwa asuransi syariah di Indonesia memiliki kesempatan bisnis yang prospektif dikarenakan seiring dengan potensi yang cukup besar. Pangsa pasar yang sangat besar dari jumlah orangnya yang dominan beragama Islam ini, menarik minatpara investor dari luar negeri untuk melakukan portofolio investasi kepada usaha asuransi syariah. Seperti yang dikerjakan oleh perusahaan takaful yang pertama didirikan di Indonesia, ialah PT Syarikat Takaful Indonesia yang telah bertambah modalnya dari Rp16 miliar (saat didirikan) menjadi 31,5 miliar. Perusahaan tersebut ialah anak perusahaan dari Malaysia ialah Syarikat Takaful Malaysia Dasar Hukum Peraturan perundang-seruan ihwal perasuransian di Indonesia dikontrol dalam beberapa kawasan, antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KURD), UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, PP No. 63 Tahun 1999 ihwal Per­ubahan atas PP No. 73 Tahun 1992 ihwal Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta aturan-hukum lain yang mengatur Asuransi Sosial yang diselenggarakan oleh BUMN Jasa Raharja (Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan). Sedangkan asuransi syariah masih terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang. Secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi menurut prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 wacana Jenis Penilaian dan Pembatasan Investasi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi; KMK No. 424/KMK.06/ 2003 wacana Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan KMK No. 426/KMK.06/2003 ihwal Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Di samping itu, perasuransian syariah di Indonesia juga dikontrol di dalam beberapa pedoman DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 ihwal Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa DSN MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa DSN MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 perihal Akad Tabarru' pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. PENDAPAT ULAMA MENGENAI ASURANSI Asuransi ialah salah satu lembaga keuangan modern yang melaksanakan administrasi risiko yang mungkin dihadapi di era yang hendak tiba. Hal ini sungguh mempesona, mengenang kemungkinan adalah suatu ketidakpastian ( uncertainty ). Mengantipasi sesuatu yang masih berupa kemungkinan bisa jadi bagi sebagian orang selaku se­buah langkah-langkah yang tidak berguna dan tidak berfaedah sama sekali, namun bagi lainnya mungkin sebuah langkah-langkah yang sangat efektif untuk menyingkir dari kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Karena asuransi berbicara wacana sesuatu yang tidak niscaya, sebagian menyaksikan bahwa praktik asuransi tidak dibenarkan dalam Islam alasannya adalah mengandung komponen-komponen gharar , maysir , dan riba di dalamnya. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa unsur-un­sur yang haram dalam asuransi bisa dihilangkan sehingga praktik asuransi mampu diterima oleh Islam. Oleh alhasil, praktik asu­ransi modern menerima sambutan yang bermacam-macam di kalangan para ulama. Sebagian ulama ada yang menolak kontrakasuransi de­ngan alasan-alasan tertentu, sebagian yang lain menerimanya de­ngan alasan tertentu pula. Perbedaan pertimbangan mengenai asuransi Para ulama di zaman dahulu berbeda usulan dalam menentukan keabsahan hukum asuransi. Secara garis besar, perbedaan pendapat kepada dilema ini mampu diklasifikasi menjadi 2 (dua) kalangan, yaitu Ulama yang mengharamkan asuransi; Ulama yang membolehkan asuransi. Kedua golongan dimaksud, masing-masing memiliki dasar hukum dan memberikan argumentasi-alasan hukum sebagai penguat kepada argumen atau pertimbangan yang disampaikannya. Di samping itu, ada yang beropini membolehkan asuransi yang bersifat sosial ( ijtima'i ) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial ( tijari ) serta ada pula yang meragukannya ( syubhat ). Ulama yang Mengharamkan Asuransi Pengklasifikasian penulis kepada kedua golongan dimaksud, cuma untuk menggambarkan secara tegas perihal usulan ulama yang mengharamkan asuransi dan ulama yang mengijinkan asuransi. Hal tersebut, menurut Masjfuk Zuhdi di antara ulama yang mengharamkan asuransi yakni Sayid Sabiq, Abdullah Al-Qalqi1i (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qardhawi, Mandi Hasan (Mufti Deoband Saharanpur India), Mahmud Ali (Mufti Al-'Ulum Cawnpur India). Alasan utama pengharaman asuransi menurut Masjfuk, adalah premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba. Pengharaman asuransi berdasarkan Warkum Sumitro berdasarkan pada 6 (enam) alasan, sebagai berikut: Asuransi mengandung komponen perjudian yang dilarang dalam Islam. Asuransi mengandung unsur riba yang dihentikan dalam Islam. Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak secara tunai. Asuransi objek usahanya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang memiliki arti mendahului takdir Allah SWT. Asuransi mengandung eksploitasi yang bersifat menekan. Selain itu juga Mandi Hasan melarang praktik asuransi dengan mengemu­kakan alasan berikut : Asuransi tak lain ialah riba menurut kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya. Asuransi juga yaitu perjudian, alasannya ada penggantungan kepemilikan pada hadirnya risiko. Asuransi yaitu pinjaman dalam dosa, sebab perusahaan asuransi, walaupun milik negara, toh ialah institusi yang menyelenggarakan transaksi dengan riba. Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan ( risywah ), karena kompensasi di dalamnya ialah sesuatu yang tidak dapat dinilai. Ulama yang Membolehkan Asuransi Para ulama yang mengizinkan praktik asuransi diwakili oleh beberapa ulama, di antaranya adalah Ibnu Abidin, Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), Syaikh Ahmad Asy-Syarbasyi (Direktur Asosiasi Pemuda Islam), Syaikh Muhammad Al-Madani (Dekan di Universitas Al-Azhar), Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dan Abdurrahman Isa. Argumentasi yang mereka pakai dalam mengizinkan asuransi berdasarkan Fathurrahman Djamil yaitu sebagai berikut: Tidak terdapat nash Quran atau hadis yang melarang asuransi. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Asuransi menguntungkan kedua belah pihak. Asuransi mengandung kepentingan lazim, alasannya premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam acara pembangunan. Asuransi termasuk kesepakatan mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Asuransi tergolong syirkah at-ta'awuniyah , perjuangan bersama yang didasarkan pada prinsip gotong royong. Pengklasifikasian dari kedua kalangan di atas, Abu Zahrah mempunyai usulan lainnya. Menurutnya, asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan alasannya adalah jenis asuransi ini tidak mengandung bagian-komponen yang tidak boleh di dalam Islam (alasannya, adalah sesuai dengan pendapat ulama yang mengizinkan asuransi). Sedangkan asuransi yang bersifat komersil ( tijari ) tidak diperbolehkan karena mengandung komponen-unsur yang tidak boleh oleh Islam (sebab sesuai dengan ulama yang mengharamkan asuransi). Oleh balasannya, sebagian ulama mampu menerima kehadiran Asuransi dengan menetralisir bagian gharar , maysir dan riba nya. Gharar pada asuransi konvensional timbul dalam dua bentuk pertama , bentuk akad yang melandasi permulaan polis. Kedua , sumber dana pembayaran dan keabsahan penerimaan uang klaim itu. Dalam asuransi konvensional kesepakatan/perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad tabadduli atau kesepakatan pertukaran; ialah pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariat dalam komitmen pertukaran harus terang berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu ( gharar ) karena kita tahu berapa yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan alasannya adalah cuma Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam desain syariat Islam kondisi ini akan lain alasannya adalah janji yang digunakan bukanlah janji pertukaran/kesepakatan tabadduli tetapi rancangan taawun atau tolong-menolong dan saling menjamin. Dalam konsep asuransi syariah, semua penerima asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Sehingga bila peserta A mening­gal, akseptor B, C, Z mesti membantunya, demikian sebaliknya. Untuk menjawab dilema kedua, dalam rancangan asuransi syariah setiap pembayaran premi semenjak permulaan akan dibagi dua. Bagian pertama masuk ke rekening pemegang polis, dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus akseptor yang diniatkan tabarru' atau sedekah untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan demikian, dari rekening khusus inilah klaim penerima diambil dan semua sudah tulus memberikannya secara sedekah. Sedangkan komponen maysir diartikan dengan adanya salah satu pihak yang untung, tetapi di pihak lain justru mengalami kerugian. Hal ini terlihat jelas apabila pemegang polis dengan karena-karena tertentu membatalkan kontraknya sebelum periode reversing period , lazimnya tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali duit yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Reversing period di asuransi syariah bermula dari kesepakatan, di mana setiap penerima mempunyai hak untuk mendapatkan cash value dan mendapatkan semua duit yang telah dibayarkan, kecuali yang telah dimasukkan ke dalam rekening khusus ( tabarru’ ) penerima dalam bent­uk sedekah. Masalah riba dieliminasi dengan cara memasukkan kesepakatan mudha­bah dan/atau mudharabah musyarakah dan janji wakalah bil ujrah dalam pengelolaan dana. Semua teknik operasional baik penentuan ilmiah tanggungan, investasi, maupun penempatan dana pihak ke­tika semua menggunakan instrument komitmen syariah yang bebas riba. Para ulama Indonesia dalam hal ini menerima asuransi ber­dasarkan kuman Fatwa DSN MUI No: 21/DSN-MUI/X/2001 ihwal Pedoman Umum Asuransi Syariah. Dalam ajaran ini ditetapkan bah­wa Asuransi Syariah ( Ta'min, Takaful, atau Tadhamun ) ialah perjuangan saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru' yang memperlihatkan acuan pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui kesepakatan (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang se­suai dengan syariah yang dimaksud yakni yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. PERBEDAAN ASURANSI KONVENSIONAL DENGAN SYARIAH Asuransi syariah secara teoritis masih menginduk kepada kajian ekonomi Islam secara umum. Oleh sebab itu, asuransi syariah mesti tunduk terhadap hukum-hukum syariah. Inilah yang kemudia membentuk karakteristik asuransi syariah secara unik dan memb­dakannya dengan asuransi konvensional. Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional yaitu sebagai berikut: Asuransi syariah mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak didapatkan dalam asuransi konvensional. Akad pada asuransi syariah yakni komitmen Tabarru' (hibah) untuk relasi sesama peserta di mana pada dasarnya akad dilakukan atas dasar bahu-membahu ( taawun ). Untuk korelasi antara penerima dengan perusahaan asuransi dipakai kesepakatan tijarah ( ujrah / fee ), mudharabah (bagi hasil), mudharabah mugarakah , wakalah bil ujrah (perwakilan), wadiah (titipan), syirkah (berserikat). Sedangkan asuransi konvensional kesepakatan menurut lebih mirip jual-beli ( ta­badduli ). Investasi dana pada asuransi syariah menurut bagi hasil ( Mu­dharabah ), bersih dari gharar , maysir dan riba . Sedangkan pada asu­ransi konvensional memakai bunga ( riba ) sebagai landasan per­hitungan investasinya . Kepemilikan dana pada asuransi syariah ialah hak akseptor. Perusahaan cuma sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya secara syariah. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusa­haan bebas memilih alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana ha­ngus mirip yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada kurun persetujuan penerima tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period , ma­ka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang sudah diniatkan untuk Tabarru' (dihibahkan). Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana Tabarru' (dana kebajikan) seluruh penerima yang sejak permulaan telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang hendak dipakai selaku dana to­long-membantu di antara penerima bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari re­kening dana perusahaan. Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara per­usahaan dengan penerima sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional se­luruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Asuransi syariah memakai tata cara sharing of risk di mana ter­jadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peser­ta lainnya ( ta'awun ) sedangkan pada asuransi konvensional yang dilakukan yaitu transfer of risk , di mana terjadi pengalihan risiko dari tertanggung (klien) terhadap penanggung (perusahaan) . Asuransi syariah menggunakan konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang sudah ada sedangkan asuransi konvensio memakai metode akuntansi accrual basis yang mengakui aset, ongkos, kewajiban yang bergotong-royong belum ada (padahal belum tentu terealisasikan). Asuransi syariah dibebani keharusan membayar zakat dari laba yang diperoleh sedangkan asuransi konvensional tidak. FILOSOFI ASURANSI SYARIAH Konsep dasar asuransi syariah sesuai yang telah di uraikan yaitu berasaskan takaful , yaitu perpaduan rasa tanggung jawab dengan persaudaraan di antara sesama peserta asuransi. Karena itu, semua akseptor asuransi sudah mempunyai suatu niat dalam bentuk persetujuan untuk menunjukkan perlindungan keuangan sebagai dukungan ( tabarru ) karena Allah SWT bila ada di antara akseptor asuransi tertimpa musibah, mirip kematian, kecelakaan dalam bentuk ukiran, dan peristiwa yang lain. Filosofi asuransi syariah dimaksud, dikemukakan dasar hukum yang bersumber dari Alqurqn dan hadist yaitu : Saling bertanggung jawab. Bekerja sama untuk saling menolong. Saling melindungi dari segala kesulitan. BERASURANSI BUKAN BERARTI MENOLAK TAKDIR Berasuransi tidaklah memiliki arti menolak takdir atau menghilangkan ketawakalan seorang muslim terhadap Allah SWT, karena: (a) segala sesuatunya terjadi setelah berpikir dengan baik, melakukan pekerjaan dengan penuh keseriusan, teliti dan cermat, (b) segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, seluruhnya ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan insan hanya diminta oleh Allah SWT untuk berupaya semaksimal mungkin. Hal tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. At-Taghabun (64) ayat 11: Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah . Berdasarkan ayat Quran di atas, mampu dimengerti bahwa intinya anutan Islam mengakui bahwa kecelakaan, petaka, dan akhir hayat ialah qadha dan qadar Allah yang tidak mampu ditolak. Namun insan diminta oleh Allah SWT untuk membuat penyusunan rencana hari depan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr (59) ayat 18: Hai orang-orang yang beriman, bertak­walah terhadap Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah terhadap Allah, bantu-membantu Allah Maha Mengetahui apa yang kau lakukan. Berdasarkan ayat di atas, muncul pandangan baru yang sekaligus melahirkan acara saling membantu untuk mengantisipasi teradinya petaka di masa mendatang. Karena itu, penyelesaian yang tampak selaku prakarsa warga masyarakat Islam ialah pembentukan asuransi syariah dan saat ini sudah meningkat pesat. Hal dimaksud, dimulai dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia tahun 1994, dan kini ada 14 (empat belas) perusahaan asuransi syariah. Walaupun asuransi syariah begitu semarak, belum ada literatur lengkap perihal bisnis yang mampu menjadi acuan standar praktisi dan akademisi di bidang asuransi syariah. Karena itu, yang terjadi selama ini kajian ilmiah yang ada hanya terdapat di beberapa jurnal atau makalah-makalah seminar ekonomi syariah. Peredaran terbatas beberapa buku karya penulis asing, baik dari Timur Tengah maupun non-Timur Tengah masih jauh dari mencukupi atau mencukupi. Kehadiran buku Asuransi Syariah, Life and General , Konsep dan Sistem Operasional tampaknya dimaksudkan untuk mengisi kekosongan itu. Apalagi isinya memang berupaya mengkaver semua seluk-beluk asuransi syariah. Mulai masalah penipuan ( gharar ), maysir (judi), dan riba (bunga) yang dihentikan oleh syariat Islam, hingga ke bentuk pengawasan faktor syariah bisnisnya. Selain itu, didapatkan uraian perihal konsep investasi asuransi syariah dan sistem akuntansi yang dipakai hingga silabus pendidikan yang harus ditempuh untuk menjadi spesialis asuransi syariah. Kemasannya dalam bentuk hardcover dengan tebal 778 halaman lebih, sehingga semakin mengukuhkan kesan buku ini untuk menjadi panduan dan literatur utama asuransi syariah di Indonesia. Selain itu, buku dimaksud menguraikan karakteristik syariat Islam yang menjadi landasan eksistensi asuransi syariah, penulis buku, Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, yang ketika itu menjabat Direktur Pemasaran Asuransi Takaful, mengungkap kembali pro-kontra para ulama jago fikih yang sering timbul tentang pikiran sebagian warga masyarakat yang menyampaikan bahwa kegiatan asuransi ialah satu bentuk aktivitas untuk melawan takdir. Karena itu, asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir, melainkan justru suatu perencanaan hidup yang tepat dengan tuntunan Quran. Adapun kesepakatan dan operasional bisnis asuransi mampu dibentuk sefleksibel mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Penulis buku itu menyatakan, selain dengan akad mudharabah dan tijarah yang sudah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, masih ada janji-akad tijarah lain yang mampu dilakukan seperti al musyarakah , al-wakalah , al-wadhi'ah , asy-syirkah , al-musahamah , dan sebagainya. Tentu mesti dikaji lebih lanjut apakah komitmen-kesepakatan tersebut marketable atau tidak, dengan kata lain apakah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah atau tidak. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Kedua bentuk asuransi baik konvensional maupun syariah mempunyai pengelolaan yang sama , tidak terlalu kentara perbedaannya. Sebab, secara teknis prosedur memiliki kemiripan. Namun, ada satu hal yang mendasari perbedaan, yakni kesepakatantransaksinya. Pada asuransi konvensional, nasabah membeli tunjangan atau jaminan dari perusahaan asuransi. Sedangkan pada asuransi syariah, perjanjiannya yakni para nasabah mengikat diri dalam suatu komunitas dan saling menanggung bila terjadi petaka. Perbedaan perjanjian dimaksud, akan menjadikan konsekuensi yang berlainan pula. Di antaranya yakni persoalan kepemilikan uang premi. Pada asuransi konvensional yang transaksinya yakni jual beli maka premi yang telah dibayarkan sepenuhnya menjadi milik perusahaan asuransi. Sedangkan asuransi syariah, premi yang dibayar nasabah tetap menjadi milik nasabah yang diamanah­kan kepada perusahaan asuransi syariah untuk diatur dan dikembangkan dananya. Sedangkan perkembangan asuransi syariah di indonesia di mulai pada tahun 1994, ialah pada ketika berdirinya asuransi Takaful indonesia. Walaupun banyak asuransi syariah bermunculan, ada jejak beda pendapat antar ulama, ada ulama yang mengharamkan asuransi, ada juga ulama yang mengijinkan asuransi. SARAN Walaupun ada ulama yang berlainan pendapat tentang asuransi, asuransi syariah di dunia maupun di indonesia mesti bekembang lebih baik untuk kemakmuran umat. Selain itu, dewan pengawas syariah harus benar- benar memantau forum keuangan syariah, tergolong asuransi, semoga dana yang di himpun oleh pihak penanggung benar-benar di investasikan sesuai syariah atau tidak mengandung unsur riba, gharar , dan maysir . DAFTAR PUSTAKA Ali, Zainuddin . 2008. Hukum Asuransi Syariah . Jakarta: Sinar Grafika Soemitra, Andri. 2009. Bank & Lembaga Keuangan Syariah . Jakarta: Prenada Media Wirdyaningsih, at, al . 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prakoso, Djoko. 2000. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Rineka cipta Sumitro, Warkum. 2002. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-forum Keuangan Terkait BMT dan Takaful Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sumber http://worldonstory.blogspot.com


EmoticonEmoticon