Kamis, 18 Juni 2020

Tantangan Muhammadiyah Dalam Bidang Sosial Budaya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Muham m adiyah sebagai organisasi islam yang bergerak dalam bidang dakwah islam dari zaman berdirinya K.H Ahmad Dahlan , Sampai kini ini banyak memiliki kendala dalam beberapa hal . Ini diakibatkan dengan beb e rapa dasar muham m adiyah yang ingin memurnikan agama bedasarkan as-sunnah dan al - quran. S alah satunya tantangan yang di hadapi yaitu dalam bidang sosial dan budaya.Sisi kehidupan dari masy a r a kat indonesia mendorong timbulnya multikulturalisme yang bisa memiliki pengaruh pada tantangan besar dalam bidang sosial budaya muham m adiyah. Derasnya paham multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh golongan internal Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah telah mengganti potensi kultur setempat, tanpa mengerti dilema dan konteks budaya setempat tersebut jikalau dikaitkan dengan aqidah, adat dari muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan ini yaitu kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permi t if terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan faktor-aspek munkarat yang terjadi. Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, mesti dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) ialah realitas yang mesti diterima oleh siapapun selaku bab dari sunatullah. Segala kesempatanbudaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan selaku khazanah budaya Islam. Sebaliknya peluangbudaya yang berlawanan bahkan merusak prinsip anutan Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan dengan prinsip yang terdapat dalam kalimah syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang hendak memeluk Islam.  Mau belanja? klik  boods.id  saja! Berdasarkan latar belakang diatas makalah ini berupaya menunjukkan sebuah gambaran dan persepsi akan datangnya suatu kebenaran dalam pemaknaan islam berdasar as-sunah dan al - quran. Rumusan Masalah Bagaimana tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya? Bagaimana cara dakwah Muhammadiyah dengan cara kultural? Bagaimana Dakwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan ajaran islam? Tujuan Untuk mengenali tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya . Untuk mengetahui dakwah Muhammadiyah dengan cara kultural. Untuk d akwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan pedoman islam? Lihat juga  Tantangan Muhammadiyah dalam bidang Pendidikan  atau  Tantangan Muhammadiyah dalam bidang Dakwah Mau belanja? klik  boods.id  saja! BAB II PEMBAHASAN Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam yang mempunyai janji untuk pemurnian dan menjaga kemurnian pemikiran Islam, Muhammadiyah memahami bahwa kebudayaan yaitu anutan, karya dan penghayatan hidup yang merupakan refleksi umat Islam atas fatwa agamanya, yang bersumber pada otentisitas pedoman Islam. Dengan pandangan itu, Muhammadiyah memandang bahwa adanya pluralitas budaya (multikulturalitas) yakni sesuatu kenyataan yang mesti diterima. Namun, tidak berimplikasi kepada paham pluralisme dan multikulturalisme, yang menatap semua agama dan semua budaya manusia yakni benar dan baik umat insan. Muhammadiyah, sebagaimana statemen al-Quran menatap bahwa dalam pluralitas budaya atau multikulturalitas terhadap kategori budaya ma'rufat (segala budaya yang bagus, yang tepat dengan nilai-nilai Islam) dan budaya munkarat (segala sesuatu yang jelek, batil dan jahat bagi kehidupan insan dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Derasnya paham multikulturalisme dan pluralisme di dalam badan Muhammadiyah ditandai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kelompok internal Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah telah menggusur potensi kultur setempat, tanpa mengetahui problem dan konteks budaya setempat tersebut jika dikaitkan dengan aqidah, adab dan muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan ini yakni kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permisif kepada aneka macam budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan faktor-faktor munkarat yang terjadi. Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak mesti dimaknai selaku pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keanekaragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah realitas yang mesti diterima oleh siapapun selaku bagian dari sunatullah. Segala peluangbudaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip pedoman Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan selaku khazanah budaya Islam. Sebaliknya kesempatanbudaya yang bertentangan bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat dalam kalima t syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan memeluk Islam. Terdapat dua prinsip yang tegak dengan kokoh dalam kalimah syahadat. Pertama, prinsip al-nafyu wa al-itsbat (negasi dan afirmasi). Negasi, penolakan kepada budaya munkarat dan afirmasi, penegasan untuk budaya ma’rufat. Kedua, ittiba’ wa mutaba'atur rasul, ialah mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam beragama dan berbudaya. Dengan prinsip itu, Muhammadiyah akan mempunyai daya selektifitas dan daya kreatif untuk menghasilkan kreasi baru dalam melahirkan kebudayaan alternatif yang tetap mempertautkan antara otentisitas dan orisinalitas ajaran Islam dengan pertumbuhan jaman yang senantiasa berganti. Mau belanja? klik  boods.id  saja! Dakwah Kultural Sejak tahun 2002 Muhammadiyah lalu menggagas taktik baru dakwah yang lebih toleran dan kontekstual yang diketahui dengan perumpamaan Dakwah Kultural. Latar belakang pemikiran ini adalah bahwa dinamika sosial-budaya dan perkembangan peradaban yang makin kompleks sehingga dibutuhkan perabotan ikhtiar atau kreativitas dari penduduk . Sejalan dengan permintaan seni manajemen kebudayaan dan pergeseran sosial, konsep dakwah kultural menampung aplikasi dakwah dalam konteks lokal, bahaya budaya global, apresiasi seni, tantangan multimedia, dan gerakan jama'ah dan dakwah jama'ah. Berbeda dengan dakwah politik, maka dakwah kultural dalam melaksanakan transformasi kehidupan umat Islam tidak menempuh jalur politik (mudah), melainkan melalui revitalisasi kultural, ialah lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etik dan susila serta landasan kultural dalam kehidupan berbangsa. Maka pada domain ini, dakwah kultural dimengerti selaku upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan peluangdan kecenderungan insan selaku makhluk budaya secara luas, sehingga terwujud penduduk Islam yang sebenar-benarnya. Melalui dakwah kultural, Muhammadiyah berusaha mendatangkan muka Islam yang santun dan bijaksana terhadap budaya setempat. Sebagai suatu pendekatan, maka dakwah kultural berupaya mengerti keberislaman umat dalam konteks sosio-antropologis. Sementara sebagai tata cara, maka dakwah kultural memanfaatkan kultur setempat sebagai media dakwah. Dengan demikian dakwah kultural tidak bermaksud menghancurkan pemikiran Islam lewat persentuhan dengan budaya lokal, tetapi cuma sebatas medium untuk menjembatani puritanisme Islam dengan tradisi keagamaan turun temurun penduduk Islam. walaupun dakwah kultural menggunakan medium lokalitas, tetapi Muhammadiyah tetap berpegang pada prinsip purifikasi sebagai orientasi keagamaannya. Hanya saja dibutuhkan pergeseran metodologi agar praktek dakwah menjadi lebih apresiatif dan erat dengan tradisi yang ada. Menurut Mu'pandai perubahan tersebut menyangkut cara pandang, sikap inklusif dan mediator yang selama ini terabaikan. Pertama, cara pandang yang selama ini lebih berorientasi pada hasil lewat justifikasi pada klaim-klaim tertentu sehingga menutup ruang dialog, telah saatnya diubah dengan mengamati proses yang berkembang di dalamnya. Dengan proses maka akan terbuka kesempatan mendiskusikan kembali duduk perkara yang timbul, sehingga diperlukan akan meminimalisir terjadinya pertentangan antar umat. Kedua, warga Muhammadiyah perlu mengedepankan sikap moderat dan inklusif, yaitu berusaha melihat problem secara sebanding dengan mengambil segi manfaat dan mengetahui segi mudharatnya untuk lalu mengedepankan penyelesaian dengan nalar yang sehat tanpa perilaku curiga terlebih menghakimi. Ketiga, apa yang disebut selaku perantara dalam berdakwah ialah perangkat sosial yang meliputi norma, cara pandang, budbahasa istiadat dan sebagainya. Sehingga untuk menyingkir dari image bahwa Islam yaitu anti-realitas dan tidak membumi, maka yang perlu dijalankan ialah pengenalan yang mendalam kepada keadaan sosio-kultural sebuah tempat, mengerti keadaan psikologis penduduk , dan berikutnya memetakan langkah-langkah strategis termasuk sistem penyampainnya. Dengan pergantian gerakan ini, Muhammadiyah dibutuhkan mampu lebih leluasa menyebarkan sayap dakwahnya secara lebih progresif dan dinamis sehingga bisa menjawab tantangan dan efek globalisasi yang makin kuat. Alasan kenapa Muhammadiyah mesti kembali kedakwah kutural, antara lain Betapa kuatnya cultural masyarakat kita sehingga hingga sekarang belum terlihat dakwah kita dimasyarakat S emakin berubahnya tatanan taktik dakwah tradisonal S emakin merebaknya permasalahan so s ial-kultural dimasyarakat S emakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah Ketidak tegasan pemerintah kepada lahirnya pedoman-anutan sesat di Indonesia. S emakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya S emakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah Dakwah berbasis budaya setempat, dakwah alternatif untuk membumikan ajaran islam Sebagai suatu kenyatan sejarah, kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi alasannya keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan ke p ada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol biar insan bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan tata cara simbol, dengan kata lain agama membutuhkan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama yakni sesuatu yang final, universal, kekal (parennial) dan tidak memedulikan pergantian (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang mampu bekembang selaku agama pribadi, namun tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam yang hadir di Indonesia juga tidak mampu dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme gotong royong menjadi sedemikian rupa di daerah Timur Tengah sehingga adakala orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup arif (fathanah) mengenali sosiologi masyarakat Arab pada ketika itu. Sehingga ia dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk berbagi Islam. Sebagai salah satu teladan contohnya, saat Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya Interaksi Islam dengan budaya setempat Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu lentur. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (contohnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk mengerti nilai-nilai Islam). Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya mirip arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga terperinci Islam lebih toleran kepada warna/corak budaya setempat. Tidak mirip, contohnya Budha yang masuk “menenteng stupa”, atau bangunan gereja Katolik yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam. Demikian pula untuk mengetahui nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan anutan Islam terhadap masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa diketahui dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam alasannya adalah agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, penduduk diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam. Sunan Kalijaga contohnya, beliau banyak membuat kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam usulan M u hammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa abad kemudian memang lebih banyak ditekankan pada faktor esoteriknya, sebab orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Selalu dengan permasalahan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan kecerdikan. Islam di kala kemudian cenderung sufistik sifatnya. Akan tetapi k aitannya dengan ketegangan inovatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah kini ini (muballigh/da’i) untuk cerdik memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang cuma sekadar budaya setempat. Metode dakwah al-Qur’an yang sungguh menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” yakni tegas-tegas menekankan pentingnya “obrolan intelektual”, “obrolan budaya”, “obrolan sosial” yang sejuk dan ramah kepada kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘ketabahan’ yang prima serta memerlukan waktu yang cukup lama, sebab dakwah bermaksud untuk mengganti kebiasaan cara berfikir (habits of mind) penduduk kea rah yang lebih baik . Wujud dakwah dalam Islam yang demikian pastinya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengenali latar belakang budaya, kita membutuhkan suatu teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, suatu teori budaya akan menunjukkan tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami pergantian. Keempat, bagaimana menandakan kombinasi dalam budaya. Persoalan pertama dan kedua, akan menunjukkan klarifikasi perihal kekerabatan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– menyaksikan kekerabatan keduanya sebagai korelasi atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yaitu modus produksi. Berbeda dengan persepsi Weber yang dalam metodologinya memakai verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat diketahui makna subyektif dari perbuatan-tindakan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas adalah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-nyata– digantikan hubungan makna dalam mengerti budaya. Sehingga dalam budaya tak akan dijumpai usaha merumuskan aturan-aturan (nomotetik), tetapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya ialah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berlainan otoritas asal makna masih sama. Mau belanja? klik  boods.id  saja! Simbol Budaya dan Nilai Agama Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) yakni simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini harus diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut selaku syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dilaksanakan dalam dimensi transeden dan imanen. Dengan kata lain high tradition yang berbentuknilai-nilai yang sifatnya abstrak, jikalau ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang pasti merupakan hasil pergulatan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan contohnya, high tradition yang diusung yakni taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam suatu bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai fatwa Islam. Dan Kuntowijiyo mengusulkan terhadap umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, alasannya akan lebih mendorong gairah penduduk banyak menikmati agamanya. Hanya saja yanag perlu dikoreksi yaitu bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya yakni kata benda. Sedangkan menurut nalar berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu. Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan yakni pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, selaku suatu simbol (pengungkapan) mampu direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita mampu menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol supaya perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena imbas pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dimengerti dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menerangkan gejala, sering dihakimi agar dapat memilih aturan-aturan halal haram. Kaprikornus sedikit banyak jelas kurang tumbuh. Lihat juga  Jika imam batal shalatnya, bagaimana nasib makmumnya? Mau belanja? klik  boods.id  saja! BAB III PENUTUP KESIMPULAN Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari efek TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak harus dimaknai sebagai pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) yaitu realitas yang mesti diterima oleh siapapun selaku bagian dari sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip aliran Islam (al-ma’rufaat), niscaya diterima, bahkan dikukuhkan selaku khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan bahkan merusak prinsip pedoman Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat dalam kalima t syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang hendak memeluk Isla m.
Sumber http://worldonstory.blogspot.com


EmoticonEmoticon